Salahkah Saya Realistis?

Assalamu 'alaikum! Udah lama banget ga nulis. Terlalu banyak uneg-uneg yang disimpen itu ga enak ya?

Alhamdulillah sekarang saya udah kerja, di sebuah perusahaan yg bukan impian sebenarnya, tapi ngga benci juga. Ya nyari kerja susah, jadi syukuri saja di mana Allah ngasi saya rezeki. Memang, rezeki itu datang dari arah yang ga disangka-sangka, ga diduga-duga. Mungkin ada saatnya nanti saya akan nulis perjalanan dapet pekerjaan yang sekarang.

Dunia kerja keras.

Begitu kata orang-orang yang udah lebih dulu memasuki dunia kerja setelah lulus kuliah. Ternyata ada benarnya juga hahaha. Kita mulai masuk ke dunia yang bener-bener real, yang super duper heterogen isinya. Entah orang-orangnya, pola pikirnya, watak, latar belakang, dan lain-lainnya. Pernah saya singgung juga sebelumnya di blog ini bahwa semakin dewasa orang, semakin kuat pula ia memegang nilai yang dia anggap benar. Dulu saya ngerasa seperti itu, dan ternyata sekarang memang bisa dirasakan juga, orang "gede" emang begitu ya hahaha. Di dunia kerja ini saya dituntut secara implisit untuk bisa adaptasi, bekerja dengan benar, profesional, dan total apapun kondisinya. Saya juga bertemu dengan orang-orang yang aneh-aneh. Ada yang tipe bawel bin pedes omongannya, ada yang diem tapi banting-banting barang, ada yang diem tapi idealis, ada juga yang adaptif tapi minder, aneh-aneh lah pokoknya. Kemudian saya juga ketemu dengan berbagai idealisme orang.

Sebenernya idealisme itu apa sih? Bisa dicari sendiri di KBBI. Bagi saya, idealisme itu suatu nilai atau hal yang dianggap benar oleh individu/sekelompok orang dan dimaksudkan untuk dicapai atau dijadikan pedoman. Punya idealisme bagi saya tidak salah, malah bagus karena berarti ada pegangan hidup, ada tujuan yang ingin dicapai atau dilakukan. Tapi kadang hal ini disalahartikan. Ada yang merasa orang dengan pendidikan tinggi haruslah punya idealisme yang tinggi juga. Ada yang berpikir bahwa idealisme orang "pinter" haruslah keren. Ada juga yang merasa bahwa idealisme memang harus dipegang teguh apapun yang terjadi, termasuk mengesampingkan hal-hal lain di sekitarnya yang sudah lebih dulu ada dan membudaya. Ini yang salah. Di saat kita memaksa orang lain menanamkan idealismenya sekuat yang kita tanamkan dalam diri kita, di saat kita mengharapkan idealisme orang lain harus sekeren-kerennya, di saat kita dengan sadar menjadi "rebel" karena tidak suka lingkungan sekitar yang tidak sesuai dengan kita. Kita lupa bahwa kita makhluk sosial, kita lupa bahwa kita harus tetap hidup, dan untuk tetap hidup kita harus beradaptasi. Dan kadang mereka yang terlalu keras dan fanatik dalam idealismenya berpikir bahwa adaptasi, kompromi, realistis, dan negosiasi merupakan pelemahan, merupakan suatu bentuk menyerah terhadap keadaan. Padahal kita bisa menyimpan idealisme dalam otak dan hati lalu kunci serapat mungkin, namun bertindak adaptif. Bukankah itu win-win solution?

Ini hanya opini juga sih. Mungkin kamu tidak setuju, tidak apa-apa. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang ada di pikiran. Menjadi idealis itu baik, tapi menjadi realistis juga tidak hina.

2019

Komentar